Meluruskan Misogini di Jalan Raya

Rifky Anggari
Rifky Anggari

Di zaman yang kian modern ini, mobilitas yang tinggi sangat diperlukan oleh hampir
semua kalangan. Tiada hari tanpa bepergian, entah itu untuk urusan kerja, pendidikan, rekreasi, maupun kesibukan lainnya. Jalan raya, sebagai sebuah fasilitas publik, dari waktu ke waktu semakin ramai penggunanya. Tak bisa dipungkiri, banyaknya pengendara kendaraan bermotor
yang menggunakan jalan raya ini memunculkan berbagai masalah. Salah satu masalah yang paling meresahkan adalah para pengguna jalan yang semakin lama semakin tidak mempedulikan etika dalam berkendara. Beberapa tahun terakhir tersebar sebuah stereotype yang menganggap bahwa para
wanita, khususnya yang telah memasuki usia paruh baya (ibu-ibu), memiliki perilaku berkendara yang buruk dan selalu menimbulkan masalah pada pengendara lain, terutama saat
mengendarai sepeda motor. Publik yang terlanjur percaya pada judgement tersebut bahkan kerap melabeli ibu-ibu sebagai ‘biang kerok’ di jalan raya. Banyak argumen kesalahan ibu-ibu di jalan raya yang digunakan untuk mendukung pemikiran tersebut, diantaranya tidak menggunakan lampu sign dengan benar, menyetir sambil mengobrol, ataupun mengangkut terlalu banyak barang bawaan. Benarkah wanita memang sebegitu tidak bijaknya dalam berkendara? Untuk menjawabnya, kita mungkin perlu menilik lebih jauh kaitan antara gender dengan perilaku berkendara. Dalam bukunya yang berjudul Traffic: Why We Drive the Way We Do (and What It Says About Us), Tom Vanderbilt menerangkan bahwa pria memang lebih baik dibanding wanita dalam penguasaan teknis berkendara. Secara keterampilan dan kepercayadirian, pria juga berada di level yang lebih tinggi (Vanderbilt, 2008). Namun hal tersebut tidak menjamin pria jauh dari kesalahan dan penlanggaran di jalan raya. Saat menyetir, pria ternyata lebih agresif, suka mengambil risiko, dan cenderung memacu kendaraan dengan kecepatan rata-rata yang lebih tinggi dari wanita (Phillips, 2018). Berdasarkan temuan yang telah dijelaskan di atas, dapat dipahami bahwa gender tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk menyalahkan kaum wanita di jalan raya, dan anggapan bahwa wanita selalu tidak becus dalam berkendara tidak lain hanyalah opini yang lahir dari perspektif misogini. Lalu mengapa anggapan tersebut seolah benar adanya dan masih dipercaya hingga saat ini? Sebuah studi yang dilakukan oleh Yeung dan Hippel di Queensland University Australia mungkin bisa menjadi jawaban untuk pertanyaan ini. Sebuah penelitian dilakukan untuk mencari tahu sejauh mana stereo type negatif mempengaruhi perilaku berkendara wanita
di jalan raya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa wanita yang terpapar stereo type negatif cenderung berkendara dengan ugal-ugalan, sementara mereka yang tidak tahu atau tidak mempedulikannya dapat berkendara dengan normal (Yeung & Hippel, 2007). Jadi, melalui penelitian tersebut terungkap bahwa stereotype negatif itulah yang secara justru memicu wanita menjadi kurang cakap dalam mengendarai kendaraan di jalan raya. Pada dasarnya, setiap pengguna jalan berkewajiban untuk memahami etika berkendara yang baik dan benar tanpa memandang ia pria atau wanita maupun kendaraan apa yang
dikemudikannya. Ini menjadi tanggungjawab kita bersama untuk memastikan fasilitas jalan raya dimanfaatkan dengan nyaman dan kondusif. Sebelum memutuskan untuk membeli dan menggunakan sebuah kendaraan untuk memenuhi tuntutan karir maupun kebutuhan hidup, kita perlu melakukan refleksi terlebih dahulu untuk memastikan kita telah memenuhi ketentuan
teknis berkendara dan paham betul tata cara berkendara yang baik dan benar sesuai peraturan lalu lintas. Pemegang kebijakan dan aparat terkait juga perlu memperketat regulasinya dalam
memberikan izin berkendara kepada pemilik kendaraan bermotor. Jangan sampai ada tindakan KKN terselubung di balik pembuatan dan pemberian Surat Izin Mengemudi (SIM) sehingga ada pihak yang memperoleh izin yang bukan haknya. Izin berkendara harusnya didapatkan melalui serangkaian tes dan uji kelayakan berkendara, bukan dengan cara membelinya dari aparat yang tak bertanggungjawab menggunakan sejumlah uang. Bukan hanya merupakan tindak pidana yang dapat dijerat hukum, pemberian izin berkendara yang sembarangan tanpa mengikuti prosedur juga dapat menimbulkan berbagai masalah lalu lintas dikarenakan
pengendara yang tidak kompeten dapat dengan bebas berseliweran di jalan raya. Tidak sedikit pula peristiwa kecelakaan yang menimpa atau disebabkan oleh pengemudi yang masih di bawah umur. Para orang dewasa perlu memonitor anggota
keluarganya yang belum layak untuk mengemudi di jalan raya. Mereka harus bisa bersikap tegas pada anak-anak di bawah umur yang sudah ‘kebelet’ mengemudikan motor/mobil. Jangan biarkan mereka mengendarai kendaraan bermotor jika belum saatnya atau tanpa pengawasan orang dewasa.
Tidak seharusnya kita menyalahkan wanita untuk kurangnya kesadaran etika berkendara, karena gender bukan penyebab utama kelalaian di jalan raya. Baik buruknya kembali pada pribadi pengemudi masing-masing. Tugas kita bersama adalah memastikan setiap pengendara kendaraan bermotor mendapat edukasi mengenai tata cara berkendara yang baik dan benar. Kita juga perlu mengintrosepeksi diri, sudah benarkah kita dalam berbagi jalan raya dengan pengendara lain? Jangan-jangan kita sendiri masih belum menjadi pengemudi yang bijak dan santun. Mari bersama-sama mewujudkan lalu lintas yang lebih nyaman dan kondusif. Penulis adalah mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon, anggota Generasi Baru Indonesia (GenBI) Cirebon

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top