Artikel Mahasiswa (Februari 2017)

MEMBANGUN “DASAR” PENDIDIKAN LUAR BIASA

Oleh Badiuzzaman Said Haqi*

(Mahasiswa Semester VI Jurusan TBI)

 

Di abad 21 ini, telah diramaikan oleh berbagai kilau dunia yang melenakan. Mulai dari datangnya berbagai perangkat yang bisa membantu meringankan kehidupan manusia serta mampu membuat semuanya terasa lebih mudah. Namun tak sedikit dari teknologi ini kurang membantu proses edukasi bagi siswa khususnya bagi siswa yang cacat mental. Perlunya perhatian khusus terhadap siswa yang cacat diperuntukan agar dapat kembali bersemangat untuk menimba ilmu diusianya. Membangun pendidikan luar biasa bisa diartikan sebagai memberi perhatian khusus terhadap murid termasuk bagi yang cacat.

Departemen Pendidikan Amerika serikat (1999) menginformasikan bahwa “pendidikan luar biasa didesain untuk bisa melihat minat dan bakat siswa yang memiliki kekurangan.” Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan adalah “suatu proses yang mana melibatkan instruksi sistematika dan logis” (Soanes dan Stevenson, 2003). Namun jika terdapat kekurangan fisik maka pendidikan yang dimaksud haruslah sesuai dengan kondisi dari siswa khususnya bagi yang kekurangan fisik. Sehingga tidak terjadi kesenjangan pendidikan pada akhirnya para penyandang cacat jadi tidak terurus. Padahal penyandang cacat mental tersebut memiliki hak yang sama sebagai manusia untuk menerima pendidikan yang layak.

Terdapat lima dasar yang dapat membangun pendidikan luar biasa menurut Michael Farrel (2009) yaitu kurikulum, paedagogi, kelas beserta organisasinya, sumber-sumber, dan terapi. Kurikulum, berisi rencana kependidikan baik itu formal ataupun tidak formal yang dikutip Michael Farrel dari Doll (1990). Proses yang perlu dihadapi oleh para siswa untuk mengembangkan bakat, pengetahuan, dan norma. Apabila kurikulum yang terdapat dalam suatu negara baik maka akan mendukung proses terjadinya pembelajaran yang baik. Paedagogi, merupakan segala yang guru lakukan. Baik dikelas ataupun ditempat lain untuk lebih membuat siswa bersemangat dalam belajar. Sebab, guru adalah fasilitator yang memberi contoh pada siswanya tentang tata cara berprilaku dan berbuat baik.

Organisasi Kelas, dalam tata ruang kelas dianjurkan fleksibel. Semisal siswa yang tunanetra dan tunarungu idealnya berdekatan dengan guru sebab bagi tunanetra suara adalah informasi yang paling dapat diterima sehingga kejelasan guru dalam menerangkan pelajaran sangatlah diperlukan, lalu bagi siswa tunarungu idealnya duduk di tepat dimana dia bisa melihat guru untuk, membaca gerak bibir. Sumber-sumber, merupakan segala partikel dalam lingkungan sekolah termasuk arsitektur gedung, diusahakan agar mudah diakses oleh para siswa penyandang cacat fisik.

Disamping itu pengaturan lampu dan jarak dalam tempat dudukpun diatur agar lebih bisa maksimal penggunaanya. Terapi, untuk membantu siswa penyandang cacat hal ini sangatlah dibutuhkan untuk mampu melakukan sesuatu seperti siswa pada umumnya. Setiap siswa pasti mengalami masalah masing-masing dalam hal ini guru memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikannya. Seperti, siswa yang mengalami masalah siswa yang sakit saat disekolah solusinya yaitu adanya dokter sekolah yang menanganinya. Jika siswa mengalami masalah kehadiran dan psikologi solusinya adalah adanya konselor disekolah yang menanganinya serta siswa tersebut dititipkan tugas dari sekolah agar bisa belajar meski siswa tidak masuk sekolah.

Terdapat tiga hal khusus yang wajib diketahui oleh guru untuk mengajari siswa termasuk para siswa “luar biasa”. Menurut Lewis dan Norwich (2005) tiga hal tersebut adalah memberi perhatian pada semua murid (bersikap umum), memberi perhatian dengan membuat kelompok spesifik (sesuai gaya belajarnya), memberi perhatian pada siswa yang “unik”.  Bagi guru sudah sepantasnya memperhatikan serta menyesuaikan metode belajarnya dengan kemampuan siswa termasuk siswa yang kekurangan fisik. Fokuslah terhadap masa depan para murid, tak hanya fokus pada imbalan. Toh juga imbalan tersebut datangnya dari murid. Jika tak ada murid yang mau bersekolah disebabkan ketidakpedulian guru maka apa yang akan dilakukan?

Yang terjadi dilapangan faktanya adalah pendidikan yang dilaksanakan disekolah-sekolah terasa seperti dipersulit. Telah banyak siswa-siswa yang tidak lulus ujian hanya gara-gara sepele, seperti kurangnya kehadiran yang menunjang nilai proses padahal ketidakhadiranya disebabkan sakit. Lalu kurangnya biaya yang harus dibayar disaat akhir semester disebabkan orang tua siswa telah membayar biaya berobat saat dirumah sakit sehingga belum mampu untuk memenuhi tagihan yang diberikan sekolah.

Pada dasarnya tujuan murni pendidikan bukanlah terletak pada ketidak hadiran atau pun biaya. Melainkan tujuan asli pendidikan adalah “tersampainya informasi-informasi dari guru dan diterima oleh siswa sehingga siswa dapat berprilaku yang baik dan diterma masyarakat” (Peters, 1996). Dengan kata lain sungguh memalukan apabila para guru hanya menilai muridnya dari sisi yang tak mampu dicapai siswa, meski siswa telah menguasai konsep dan mampu berprilaku baik.

Sudah saatnya bagi Indonesia untuk peduli terhadap pendidikan sebab dalam persaingan intelejensi antar negara kian meroket namun faktanya hanya bisa diam membisu dan menutup mata. Padahal betapa pentingnya pendidikan untuk membangun untuk mengaharumkan negara Indonesia tercinta ini sehingga layak dan pantas mendapat sebutan macan asia kembali. Tidakkah semua masyarakat rindu akan sebutan hebat ini? Tentunya jika para pembaca yang budiman rindu untuk mendapat sebutan ini kembali hendaknya selalu mengutamakan pendidikan serta meningkatkan performa setiap pendidik agar menjadi para pendidik yang bertanggung jawab.

*Penulis adalah mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Prodi Tadris B. Inggris

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top