Aktivis dan Post Power Syndrome

by : Rifky Anggari
By : Rifky Anggari

Bagi sebagian orang, kehidupan kampus merupakan kesempatan emas untuk
mempelajari banyak hal. Opini yang berkembang menyatakan bahwa yang berarti dari kampus bukanlah materi pelajaran yang didapatkan di perkuliahan, melainkan  pengalaman yang didapat dari berbagai
kegiatan di luar kelas. lmu dan pengalaman dari berbagai kegiatan ekstra inilah yang
dinilai lebih berpengaruh pada kehidupan masa depan mahasiswa. Oleh sebab itu, di setiap kampus pasti terdapat
banyak organisasi yang menjadi wadah bagi mahasiswa untuk
mengembangkan diri, mulai dari yang bersifat pengembangan minat dan bakat hingga yang berorientasi politik. Mahasiswa  yang aktif berpartisipasi di organisasi semacam ini biasa disebut
sebagai mahasiswa aktivis. Aktif berorganisasi memang banyak
memberi pengaruh positif pada diri seorang aktivis. Di organisasi,
seorang aktivis terbiasa untuk selalu aktif berkomunikasi dan
bekerjasama dengan orang lain dalam mengerjakan berbagai kegiatan. Seringkali, aktivis juga dituntut untuk berbicara di depan
banyak orang untuk menyampaikan ide dan gagasan yang
dimilikinya, yang secara tidak langsung keadaan seperti ini akan melatih rasa percaya diri dan kemampuan public speaking dari
aktivis itu sendiri. Organisasi juga menjadi tempat yang ideal
bagi para aktivis untuk mempelajari leadership dan management, karena dua hal itu tidak dapat terlepas dari sebuah organisasi.
Selain itu, manfaat lain dari organisasi adalah terciptanya
suasana kekeluargaan yang hangat antar sesama aktivis organisasi. Itulah beberapa manfaat yang bisa didapat oleh
seorang aktivis lewat berorganisasi, dan karena alasan-alasan itu juga organisasi menjadi tempat yang membuat para aktivis betah dan ingin selalu aktif berkontribusi di dalamnya. Beriringan
dengan segala manfaat yang didapat dari berorganisasi, di dalamnya juga terdapat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan
yang harus diikuti oleh para aktivis. Di setiap organisasi pasti terdapat aturan yang mengatur tentang sistem struktur organisasi, jabatan, danmasa bakti. Setiap organisasi harus memiliki masa bakti. Setiap organisasi harus memiliki struktur yang jelas. Struktur ini bertujuan untuk membagi tugas dan wewenang
setiap anggota agar tidak saling bertabrakan atau berebut
kekuasaan dan agar organisasi dapat berjalan sebagaimana mestinya untuk mencapai tujuan. Orang-orang yang dipercaya
mampu untuk mengemban tanggungjawab yang besar akan
dipercaya untuk memegang jabatan yang tinggi di organisasi. Mereka inilah yang dinilai mampu untuk memimpin anggota lain
yang secara struktural ada di bawahnya. Selain adanya
jabatan, di organisasi juga terdapat ketentuan yang mengatur masa bakti aktivis. Setiap tahunnya (atau setiap periode tertentu)
harus diadakan regenerasi anggota organisasi. Setelah masa
baktinya di organisasi selesai, aktivis akan lengser dari jabatannya dan digantikan oleh aktivis baru yang lebih muda
untuk melanjutkan estafet keorganisasian. Aturan-aturan itu dibuat  demi menjaga keberlangsungan sebuah organisasi.Namun pada keadaan tertentu, bisa jadi menimbulkan efek yang tidak
yang tidak diharapkan oleh sebagian orang. Setiap perubahan  yang sifatnya drastis dan transisinya cepat pasti akan menimbulkan kekagetan pada yang mengalaminya.
Seorang aktivis senior, terutama yang tadinya memiliki jabatan  tinggi dan berkontribusi aktif di organisasi, berpotensi mengalami kekagetan psikologis ketika ia memasuki masa pensiun dari organisasi. Perubahan yang cepat dan drastis dari keseharian
yang biasanya sibuk menjadi senggang dan dari posisi sebagai orang penting menjadi orang biasa dapat menyebabkan kebingungan, ketidakstabilan emosi, dan stress akibat
sulit menerima kenyataan. Gejala-gejala psikologis yang dialami oleh seseorang yang telah pensiun dari pekerjaannya ini
disebut dengan Post Power Syndrome (Rahmat & Suyanto,2016). Gejala PPS ringan memang wajar dialammi oleh hampir semua  aktivis organisasi yang baru saja lengser, akan tetapi bisa menjadi  serius jika gejalanya berlangsung lama dan membawa
pengaruh buruk pada yang mengalaminya dan juga orang lain, terutama pada organisasi. Post-Power Syndrome biasanya
menimbulkan gejala yang lebih parah pada orangorang dengan
karakteristik tertentu, yaitu mereka yang senang dihargai dan didengar oleh orang lain, mereka yang membutuhkan pengakuan orang lain, dan mereka yang merasa dirinya hebat jika memiliki
jabatan dan bisa mengatur orang lain. Meskipun gejala PPS lebih
sering terjadi pada orang-orang yang memiliki jabatan tinggi, PPS bisa juga terjadi pada mantan aktivis yang di organisasinya tidak memegang jabatan yang krusial. Menurut Dale Carnegie,dalam bukunya yang berjudul “How to Win Friends and Influence People,” pada dasarnya setiap manusia itu membutuhkan feel of
importance. Manusia merasa senang jika dirinya dianggap penting dan dibutuhkan oleh orang lain (Carnegie, 2005). Setelah pensiun
dari sebuah organisasi, aktivis yang mengalami gejala PPS
akan merasa dirinya tidak dihargai dan tidak dibutuhkan oleh orang lain. Kemungkinan terburuknya, ia akan merasa bahwa
organisasi tempatnya berkontribusi dulu telah ‘membuang’ dirinya.
Mantan aktivis yang mengalami hal ini akan menjadi lebih tertutup dan tidak bersemangat dalam menjalankan aktivitas kesehariannya. PPS pada skala ini masih terbilang ringan dan akan hilang seiring berjalannya waktu. Bagi mantan aktivis yang  dulunya memiliki jabatan yang tinggi, gejala PPS yang timbul
berpotensi menimbulkan efek yang lebih parah. Mereka yang terbiasa dihormati, dipatuhi, dan selalu didengar perkataannya
oleh anggota organisasi yang lain akan merasa lebih ‘jatuh’
dibandingkan dengan mereka yang sebelumnya tidak menjadi ‘orang penting.’ Karena dulunya mereka adalah pemimpin yang
terbiasa mengatur atau mempengaruhi orang lain, ketika sudah
tidak lagi menduduki jabatannya, mereka bisa merasa tidak berharga, mudah tersinggung, dan  juga menjadi lebih temperamental   (Rahmat & Suyanto, 2016). Yang lebih parah dan
berdampak luas, mantan aktivis dengan gejala PPS berat juga akan terus merasa berkuasa di dalam organisasi, ingin selalu ikut campur, dan terus-terusan mengatur segala hal yang ada di dan terus-terusan mengatur segala hal yang ada di
organisasi setelah ia pensiun. Jika sudah masuk pada gejala PPS ini, proses pemulihannya mungkin lebih lama dan butuh   usaha ekstra baik dari individu itu sendiri maupun dari orangorang
di sekitarnya. Post Power Syndrome tentunya membawa dampak buruk bagi individu yang mengalaminya dan juga bagi organisasi.  Bagi individu yang mengalaminya, ia akan terus merasa dirinya rendah, tidak berarti, tidak bersemangat, dan mengalami
ketidakstabilan emosi. Hal ini dapat mengganggu kesehariannya
sendiri dan berpotensi mendatangkan berbagaipenyakit karena pikiran yang stress. Bagi organisasi, mantan aktivisnya yang mengalami gejala PPS – terutama yang berat – sangat mungkin akan  mengganggu stabilitas dan menghambat perkembangan  organisasi. Sistem musyawarah untuk mufakat menjadi tidak sesuai dengan prinsip awalnya karena adanya campur tangan dari anggotanya  yang telah pensiun yang notabene sudah menjadi  pihak luar’ dan tidak lagimemiliki hak dalam pengambilan keputusan di dalam organisasi. Para aktivis baru yang sudah sewajarnya menjalankan organisasi dengan kemampuan mereka sendiri   dan belajar untuk menjadi aktivis yang lebih handal akan
terhambat perkembangannya karena terus-menerus diintervensi oleh mantan aktivis yang terkena gejala PPS. Menimbang bahaya
yang dapat ditimbulkan oleh gejala Post Power Syndrome bagi
individu aktivis dan organisasi, perlu bagi kita untuk melakukan tindakan preventif agar dampak buruk PPS tidak sampai terjadi pada diri kita dan organisasi. Bagi para calon aktivis organisasi,
sebelum memulai karir dan masa belajar diorganisasi, perlu dibangun mindset bahwa tujuan berorganisasi bukanlah untuk mencari jabatan dan kekuasaan serta agar bisa mengatur orang
lain, melainkan untuk belajar, bekerjasama, dan memberi manfaat pada banyak orang. Bagi aktivis yang sedang menjabat, terutama yang mendekati masa pensiun, sebaiknya bersiap-siap untuk
menghadapi masa pensiun yang mungkin akan sedikit ‘mengagetkan.’ Buat rancangan aktivitas apa yang akan ditekuni setelah pensiun dari organisasi untuk menghilangkan segala pikiran negatif yang mungkin akan muncul. Dan yang terakhir, bagi mantan aktivis yang telah pensiun, perlu dibangun kesadaran bahwa pensiun dari organisasi tidak berarti menjadikan
dirinya orang yang powerless dan tidak dibutuhkan. Generasi baru
yang melanjutkan estafet keorganisasian berhak mendapat waktu dan kesempatan untuk belajar dan terus berkembang tanpa harus diintervensi atau diawasi secara ketat. Mantan aktivis yang
sudah tidak menjabat hendaknya menyibukkan diri dengan aktivitas yang bermanfaat dan fokus pada keakademikannya jika dirasa perlu. Jika masih ingin terus berkiprah di dunia organisasi,
maka ia bisa mencari organisasi lain yang bisa menjadi tempat baginya untuk terus aktif berkontribusi. Penulis adalah mahasiswa Tadris Bahasa Inggris IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan pengurus
English Department Students Association (EDSA)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top