
We can be heroes even just for one day’
– Heroes, David Bowie, 1977 –
Mukadimah: We need someone greater than a king!
Aquaman : “What could be greater than a king?”
Mera: : “A hero! A king fights for his nation. A hero fights for everyone!”
Percakapan pendek antara Aquaman dan Mera ini adalah petuah bijak yang ternyata telah lama saya rekam dari alm. Prof. Maksum Muhtar. Pesan hikmah dari langit, kata para sufi, selalu berulang di momen-momen langka dari orang-orang terbaik saja. Baik dalam fiksi maupun dunia nyata, saya kini menggenggam teguh kutipan ihwal kepemimpinan ini. Lewat Prof. Maksum-lah saya membaca dan merekam pesan kepimpinan semacam ini. Tiga hari lalu, saya mendapat kabar bahwa Prof. Maksum telah memenuhi panggilan Allah SWT untuk kembali ke dunia ruh, dan perasaan saya remuk redam seketika. Sang jasad memang telah tiada, namun pesan hikmah dari beliau masih saya genggam erat di batin saya.
Saya memang hanya mengenal beliau dalam rentang satu dekade saja, dan sayangnya, saya tak begitu banyak berinteraksi secara personal dengan beliau dikarenakan hirarki institusional-profesional. Beliau adalah Rektor yang merekrut saya untuk menjadi dosen CPNS di akhir 2010. Beliau jugalah yang menandatangani banyak Surat Keputusan (SK) terkait status kepegawaian saya di IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Lewat banyak sekali pelatihan dan rapat yang saya ikuti sejak 2010, ada satu gestur batin Prof. Maksum yang selalu saya tangkap dalam bentuk bahasa yang kira-kira akan berbunyi: “Saatnya kampus ini (IAIN Cirebon) berbenah tiada henti agar memberi manfaat dunia akhirat untuk banyak orang!” Sungguh sebuah penggugah batin yang mengakar kuat di batin saya! Meskipun interaksi saya terbatas dengan Prof. Maksum, bukan berarti saya tak belajar banyak dari beliau yang dikenal sebagai tokoh reformis kampus IAIN Cirebon ini.
Semakin sering saya mengikuti rapat dan pelatihan dengan Prof. Maksum, semakin sadarlah, bahwa ada beban besar di pundak beliau yang tak gampang orang pahami. Saya selalu membayangkan bahwa tugas Prof. Maksum sebagai Rektor perdana IAIN Cirebon setelah beralih dari STAIN di November 2009 amatlah berat. Wajarlah apabila beliau selalu mengingatkan terutama kepada kami yang junior ini untuk membiasakan mengajar, meneliti, dan mengabdi dengan kualitas terbaik. Meningkatkan kualitas di tiga area ini, kata beliau, adalah sebuah bagian terpenting dari bebenah kampus. Oleh karena itu, lanjut beliau di sebuah pertemuan lain, bukan lagi zamannya dosen datang telat ke kelas, apalagi tanpa persiapan sama sekali. Ini pun bukan zaman di mana dosen bisa “mengemis” sesajen berupa minuman, makanan, atau snack kepada mahasiswa sebagai syarat kelulusan mata kuliah. Ini adalah saatnya para dosen menunjukkan kualitas terbaiknya kepada mahasiswa, dan terus menunjukkan bukti, bahwa dia adalah orang terpilih untuk menjalankan amanah, menebar ilmu alias menebar cahaya di kampus ini. Sampai detik saya menulis teks ini, masihlah terngiang pesan-pesaan hikmah beliau.
Awalnya agak kaget saya ketika mendengar wejangan beliau ini. Saya kaget karena Prof. Maksum memberi penekanan tertentu pada intonasinya. Pastilah ini bukan sebuah fiksi belaka. Maklumlah dosen baru seperti saya ini kala itu masih “polos” dan tak begitu memerhatikan betul perkara yang diungkap Prof. Maksum. Hari demi hari saya lalui sebagai dosen muda di IAIN Cirebon, dan lambat laun saya mendengar banyak keluhan dari mahasiswa ternyata perkara yang diungkap almaruhum nyata adanya. Ketika saya dipercaya sebagai tim gugus mutu Jurusan, saya malah lebih sering mendapat keluhan serupa. Hal semacam ini harus segera berakhir di kampus Islam ini, ujar saya kepada diri sendiri.
Di tahun kedua-ketiga pengabdian saya di kampus ini, saya makin lihai menavigasi keadaan kampus dengan mencatat setiap keluhan mahasiswa (dan dosen); hasil rapat; hasil pelatihan; dan hasil pertemuan dengan pihak Kementerian Agama pusat. Program bebenah kampus seperti yang dicanangkan oleh Prof. Maksum makin mewujud nyata di depan saya. Lalu, saya pun berhipotesis sendiri bahwa yang dibutuhkan kampus negeri bernafaskan Islam seperti IAIN Cirebon bukan hanya status dari STAIN ke IAIN lalu ke UIN saja, tapi kampus ini membutuhkan DNA dan struktur keilmuan baru yang diintegrasikan kepada nilai-nilai keislaman. Pun membutuhkan sentuhan teknologi yang memadai agar semua jenis pekerjaan dosen, staf, dan mahasiswa bisa terakselerasi dengan baik. Pun membutuhkan infrastruktur fisik yang mendukung kenyamanan belajar dan bekerja para civitas akademika kampus. Namun, untuk menjalankan semua ini, kampus Islam ini butuh darah para pejuang yang siap menjadi pahlawan kampus! Tentunya pahlawan adalah orang yang mampu memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan mengesampingkan bendera fraksi atau golongan.
Prof. Maksum menegaskan ini pada sebuah percakapan di hari pertama setelah liburan Lebaran di tahun 2012. Bukan sebuah kebetulan ketika Prof. Maksum tiba-tiba saja melakukan sidak alias inspeksi mendadak ke jurusan Tadris Bahasa Inggris pada pagi itu. Bukan kebetulan pula bila pada saat itu, saya tengah berdiskusi dengan kolega saya (Wakhid Nashruddin, Ph.D) ihwal research roadmap jurusan TBI yang waktu itu butuh penyegaran dan renovasi besar-besaran. Hanya ada saya dan Mas Wakhid Nash plus Prof. Maksum yang lalu ikut berdiskusi sejenak saja dengan kami. Di obrolan yang singkat itu (sekitar 15 menit), justru saya terutama terkesan dengan pesan beliau: “Sayangi kampus ini, maka Allah akan membukakan jalan terbaik untuk kalian! Jadilah pahlawan untuk kampus ini!” Bergetar sekujur tubuh saya mendengar titah beliau ini. Pertemuan ini pastinya sudah diatur di lauhul mahfudz sebagai pengingat bagi saya terutama bahwa menjadi dosen di IAIN Cirebon adalah sebuah jalan perjuangan suci. Tak heran memang mengapa kampus ini terletak di Jalan perjuangan. Ini adalah semacam metafora yang menegaskan bahwa siapapun yang berada dalam afiliasi IAIN Cirebon, maka ia harus mentransfromasi dirinya menjadi pejuang super tangguh lalu dikenang sebagai pahlawan. Bayangkan kalau jalan Perjuangan tiba-tiba diganti dengan jalan Kemerdekaan, misalnya. Akan ada metafora berbeda dan ambiens berbeda di dalam kampus tentunya.
Lembar Kenangan Pertama Bersama Prof. Maksum: Kebijakan 4.0
Salah satu kebijakan Prof. Maksum sebagai Rektor yang paling saya ingat adalah kebijakannya ihwal kesempatan untuk studi lanjut. Di tahun kedua pengabdian saya sebagai dosen PNS di IAIN Cirebon, saya telah memulai untuk berburu beasiswa S3 ke luar negeri. Saya pun telah memulai latihan IELTS dan menulis proposal riset Ph.D untuk dikirim ke University of Sydney, Australia, pada waktu itu. Sayang seribu sayang, mimpi saya untuk berburu beasiswa harus dilupakan sejenak karena Prof. Maksum memberlakukan kebijakan 4.0: mengabdilah empat (4) tahun dulu di IAIN Cirebon, barulah anda bisa melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Kecewa melanda. Di kampus-kampus lain tak pernah terdengar kebijakan seunik ini. Namun, kebijakan ini tak menyurutkan saya untuk terus mengasah diri agar terus meningkatkan kualitas diri sebagai dosen PNS.
Sampai durasi 4 tahun awal sebagai dosen PNS berlalu, barulah di awal 2015 saya mendaftarkan diri pada program 5000 Doktor Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (DIKTIS) Kementrian Agama RI, dan setelah semua prosesi tes administratif, tes psikotes, dan wawancara, akhirnya di akhir 2015 sayapun dinyatakan sebagai salah satu penerima beasiswa Ph.D Luar Negeri. Pecah telur akhirnya! Alhamdulillaah! Ketika saya menerima SK kelulusan dari Diktis, saya berbisik dalam hati: I have kept my promise to Pak Maksum, and I should thank him for his 4.0 policy! Sungguh saya merasa berhutang budi kepada Prof. Maksum yang telah memberi “jeda” selama empat tahun untuk persiapan Ph.D saya. Setelah saya berefleksi sejenak, ternyata kebijakan 4.0 telah memberi begitu banyak untuk saya, dan Prof. Maksum pastinya tahu betul mengapa beliau harus menegaskan diri ihwal kebijakan ini.
Ternyata dan ternyata periode empat (4) tahun awal sebagai dosen PNS adalah masa persiapan terbaik bagi saya untuk ‘terbang’ menuntut ilmu ke benua Australia. Saya merekamnya dengan cara seperti ini:
Di tahun pertama pengabdian saya (2011), saya masih berstatus sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Gaji dari negara pun baru saya terima sebanyak 80%. Status PNS hanya akan diterbitkan setelah saya mengikuti diklat pra-jabatan selama tiga (minggu) di Bandung. Saya beruntung sekali ternayta pada bulan Oktober 2011 alias sembilan bulan sejak diangkat CPNS, saya dan kawan-kawan CPNS lain (39 orang) dari IAIN Cirebon akhirnya diberangkatkan untuk mengikuti diklat pra-jabatan yang makin mempertajam visi saya sebagai dosen PNS.
Pada bulan Januari 2012 alias di tahun kedua sebagai abdi negara, saya pun berstatus resmi sebagai 100% PNS. Hak dan kewajiban sebagai dosen PNS pun melekat langsung dengan sendirinya. Kewajiban meneliti, membimbing, publikasi ilmiah, dan mengabdi kepada masysrakat pun hadir sekejap cahaya di depan mata. Pada tahun kedua inilah, saya makin menikmati passion saya dalam mengajar dan membimbing mahasiswa dalam area Phonetics/Phonology, Functional Grammar, Semantics, Pragmatics, dan Academic Writing. Pada tahun yang sama, saya pun mulai memperkenalkan area riset yang baru kepada para mahasiswa di jurusan Tadris Bahasa Inggris di area yang saya gemari. Saya pun mulai aktif tampil di acara seminar & workshop yang diselenggarakan asosiasi mahasiswa (EDSA) dan makin mempopulerkan minat riset saya yang berada di luar tradisi jurusan yang hanya berkutat di area “teaching methods,” yang menurut saya, sudah kedaluarsa, malahan sangat kuno dan jelas ketinggalan zaman.
Di tahun ketiga (2013), saya pun akhirnya berstatus dosen professional alias certified lecturer di bidang pengajaran grammar dan literasi. Makin besarlah peluang saya dalam mendalami minat riset saya. Di tahun ini, makin banyaklah mahasiswa yang tertarik melakukan riset di area intonasi, functional grammar, korpus, dan literasi berbasis genre pedagogy. Di tahun ini pun, saya mulai memperkenalkan kelas berbasis riset di mata kuliah yang saya ampu. Mahasiswa diberi kesempatan meneliti topik terkait dengan Linguistik dan Literasi. Di tahun ini, saya sungguh merasakan sensasi berbunga-bunga karena ternyata mahasiswa TBI menunjukkan komitmen belajar tinggi pada area riset yang baru pertama kali mereka pelajari. Beberapa mahasiswa terbaik pun akhirnya bisa mempresentasikan makalahnya (dalam bahasa Inggris) di International Conference of Applied Linguistics (CONAPLIN) pada tahun 2014 yang diselenggarakan di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. 10 mahasiswa terbaik dari Tadris Bahasa Inggris tampil memukau karena mereka menyampaikan pemikiran mereka dalam bahasa Inggris. Banyak sekali audiens dari kampus lain yang terkesima oleh penampilan mahasiswa TBI. Saya bangga sekali pada titik ini karena sekelompok mahasiswa ini telah mencatatkan sejarah baru dengan tampil perdana di sebuah konferensi Internasional, dan sebelumnya memang prestasi serupa belum pernah dicapai.
Di tahun keempat (2014), saya makin mencintai profesi saya sebagai dosen di IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Amanah baru sebagai tim Gugus Mutu kemudian sebagai manajer jurnal jurusan pun telah memberi saya wawasan baru ihwal manajemen kualitas Perguruan Tinggi. Di tahun ini, saya pun makin aktif mengikuti pelatihan pembuatan kurikulum baru yang berorientasi Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) atau Indonesian Qualification Framework. Kerja berat merenovasi kurikulum ini berjalan dalam periode 2014 s/d 2016 dan saya pun terlibat dalam banyak perdebatan panjang dengan para kolega Jurusan ihwal pentingnya merombak kurikulum TBI yang memang sudah sangat kadaluarsa dan mungkin tak lagi relevan dengan dunia kerja abad 21.
Di saat perdebatan ihwal kurikulum ini memuncak di medio 2015, saya pun “kabur” lagi ke UPI Bandung dengan membawa tujuh (7) orang mahasiswa terbaik TBI untuk tampil pada workshop pendidikan literasi berbasis Genre-Based Pedagogy yang diselenggarakan oleh UPI dan University of Sydney. Salah satu “dedengkot” genre-based literacy dari Sydney Uni, Prof. Jim Martin, hadir menonton setiap presentasi mahasiswa TBI dan beliau memberi selamat kepada mereka. Sepulang dari Bandung, saya masih terlibat dalam renovasi kurikulum TBI, dan menelurkan sebuah proposal riset di area ecological perspective of second language writing untuk memperkuat area riset bidang literasi di TBI. Proposal saya pun dinyatakan lolos untuk dibiayai lewat DIPA IAIN Cirebon, dan di 2015 saya pun mempresentasikan hasil riset saya di UPI Bandung pada perhelatan lanjutan workshop dengan Jim Martin dari Sydney Uni.
Di tahun kelima (2015), saya pun memberanikan diri untuk mengirimkan proposal riset saya sebagai salah satu syarat utama lolos program beasiswa 5000 Doktor Luar Negeri (kini MORA Scholarship). Bi idznillah, saya pun dinyatakan lulus sebagai MORA scholarship awardee di akhir 2015 ketika saya baru saja menjabat sebagai Ketua Jurusan TBI pada selama enam-tujuh bulan. Sungguh amatlah berat menjalankan dwi amanah sebagai pejabat struktural dan penerima beasiswa luar negeri karena keduanya membutuhkan fokus, komitmen, dan determinasi tinggi untuk dijalankan. Karena keterlambatan beasiswa saya yang berjarak satu tahun dari turunnya SK kelulusan saya di 2015, maka saya pun sebaik mungkin menjalani amanah sebagai Ketua Jurusan TBI.
Pada periode 2015-2016, saya pun telah merampungkan renovasi kurikulum TBI dan meloloskan sebuah grant dari New Zealand Embassy di Jakarta untuk pendirian self-access centre di kawasan bangunan TBI. Sebuah ruang kelas di sebelah kantor Jurusan TBI pun kami sulap menjadi self-access centre merangkap library dan research centre yang kini dinikmati banyak pihak. Selain itu, di awal 2016, TBI pun terafiliasi kepada Asosiasi Linguistik Terapan Indonesia (ALTI) yang berpusat di UPI Bandung. ALTI inilah asosiasi keilmuan di bidang Applied Linguistics yang menjadi biang lahirnya Indonesian Journal of Applied Linguistics (IJAL), satu-satunya jurnal di area pendidikan bahasa yang terakreditasi A dan terindeks Scopus. Lalu, pada bulan Juli 2016, Jur TBI pun dinyatakan sebagai Juara Umum di acara Festival Budaya dan Seni perdana di lingkungan FITK. Melodic Angels, paduan suara Jurusan TBI yang saya bentuk pada bulan Juni 2016, pun tampil memukau dan menjadi juara umum. Sampai saat ini, choir ini menjadi kebanggan Jurusan TBI karena telah melebarkan sayapnya dalam konser-konser di luar kampus.
Pada titik ini, sungguh saya bersyukur bahwa kebijakan 4.0 alias “mengabdilah empat tahun dulu baru studi lanjut” telah merubah cara saya memandang diri saya sebagai dosen profesional di lingkungan IAIN Cirebon. Waktu empat tahun ternyata adalah waktu yang pas untuk saya dalam mengembangkan kapasitas diri di lingkungan baru dengan berbagai peran yang baru pula. Dalam rentang empat (4) tahun itu, saya menemukan minat riset baru dalam area ekologi bahasa yang akhirnya membawa saya ke area Neuroscience of Language Learning yang menjadi DNA riset Ph.D saya di Darwin, Australia.
Dalam rentang empat (4) tahun tersebut, saya pun belajar banyak ihwal leadership dalam konteks PTKIN dan memperlebar silaturahim intelektual dan personal dengan lebih banyak orang dari kampus sendiri maupun kampus lain. Pendek kata, kebijakan 4.0 Prof. Maksum ini kurang lebih berbunyi seperti ini: “kembangkan dulu dirimu sebaik-baiknya di titik yang tak akan orang sangka, lalu bermusafirlah ke negeri-negeri yang jauh hingga kau akan menjangkau titik tertinggi yang tak pernah orang lain akan capai! I really thank you for this, Pak Maksum!”
Lembar Kenangan Kedua Bersama Prof. Maksum: Integrasi Sains dan Islam
Sungguh saya merasa bingung lalu tersesat ketika pada periode 2011-2013, saya dan seluruh punggawa IAIN Syekh Nurjati Cirebon sering diundang Prof. Maksum pada acara workshop ihwal integrasi sains dan Islam. Maklum, saya menamatkan S1 pada jurusan Sastra Inggris UPI dan S2 pada jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UPI, seolah menegaskan saya ini orang yang tak “berlatar belakang agama”. Acara puncak integrasi keilmuan dilaksanakan pada tahun 2013 di hotel Aston Cirebon di mana kami harus menginap empat hari tiga malam membahas visi keilmuan baru IAIN Cirebon. Rasa lelah dan bosan makin menyelimuti karena saya tak kunjung mampu menarik garis start dan finish dari diskusi panjang ini. Satu kata kunci saja yang saya ingat di penutupan pleno: Muhsin. Ternyata dan ternyata ini adalah “magic word” yang menjadi acuan dasar upaya integrasi sains dan Islam yang digagas oleh IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Lama sekali saya mencoba memahami “Muhsin” ini. Saya mencoba membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan makna leksikal yang muncul adalah “yang baik hati, pun baik akhlaq dan amalnya” atau “yang baik perjalanan hidupnya” atau “yang saleh”. Sungguh sebuah adjectiva yang syarat makna! Perjalanan mengintegrasikan keilmuan modern dengan Islam mestinya mendorong para dosen dan mahasiswa terutama untuk menjadi orang-orang yang baik hati, baik amalnya, baik akhlaknya sehingga muncullah kualitas kesalehan itu pada dirinya, dan yang bersangkutan memiliki perjalanan hidup yang baik. Sungguh agung kata “Mushin” ini! Gegar gempita ihwal pendidikan karakter terasa inferior bila dibandingkan dengan konsep Muhsin ini. Kurikulum berbasis KKNI yang hanya menekankan pada kompetensi yang terukur dan bisa disertifikasi secara global pun sangat inferior dibanding konsep Muhsin yang mengakar kuat pada fitrah manusia ini. Pidato Prof. Maksum ihwal konsep ini cukup gamblang setelah saya baca ulang catatan-catatan workshop saya: kurikulum model apapun menjadi tak berguna dan tak bermakan apabila sang murid tak menjadi orang yang baik akhlak-nya. Pun sungguh tak bermutu kurikulum PTKIN seandainya para mahasiswa kita tak baik hidupnya setelah menamatkan pendidikan di kampus kita. Sungguh percuma pendidikan di kampus kita seandainya anak didik kita tak menjadi kaum yang saleh. Begitulah kira-kira visi integrasi yang saya pahami dari Prof. Maksum kala itu.
Rendezvous dengan “Muhsin”
Waktu pun berlalu cepat hingga akhirnya saya terbang ke Darwin, Australia untuk ‘mesantren’ di Charles Darwin University pada bidang Neuroscience of Language Learning, bidang yang mungkin belum digarap di Indonesia khususnya di lingkungan PTKIN. Karena riset Ph.D saya berfokus pada pengembangan agency mahasiswa dalam area academic writing, maka mau tak mau saya harus mempejari (ulang) konsep learner-centeredness yang mesti dikaitkan dengan standar Indonesian Qualifications Framework (IQF) alias KKNI dan Australian Qualifications Framework (AQF). Di sela-sela eksplorasi konsep agency inilah saya berkenalan intim dengan area curriculum studies yang dikembangkan dalam peradaban Barat. Setelah mereviu ratusan artikel ihwal kurikulum dan proses pembelajaran bahasa yang dibahas dalam dunia Neuroscience, ternyata ada semacam evolusi pemikiran para ilmuwan di bidang pengembangan kurikulum dan bahan ajar: kubu lama berorientasi pada kompetensi terukur versus kubu baru berorientasi pada pengembangan karakter. Setelah lama berpikir, entah kenapa pelan-pelan saya malah berpihak pada kubu baru yang berorientasi pada pengembangan karakter sebagai pijakan pengembangan kurikulum abad 21 ini. Tekejutlah saya ketika banyak referensi yang menekankan pentingnya membangun “humility” alias rasa rendah hati, misalnya. Bahkan karakter terpenting seorang pembelajar di abad 21 ini adalah “humility” alias kerendahan hati. Bahkan dalam banyak karya ilmiah dua supervisor saya, Dr. Ania Lian dan Prof. Andrew Lian, humility ini menjadi topik perbincangan yang di-highlight dengan penuh penekanan. Pun dalam percakapan sehari-hari dengan saya di kafe dan ketika bimbingan, dua professor saya ini selalu mengingatkan akan pentingnya kerendahan hati ini. Bukankah “humility” alias kerendahan hati ini adalah salah satu karakter mendasar orang saleh?, tanya saya. Lalu karakter-karakter lain bermunculan dalam referensi Barat yang saya baca: honesty, determination, teamwork, etc… Bukankah ini termaktub semua dalam konsep Muhsin? Sungguh eureka moment seperti ini sebuah rizki yang tak disangka-sangka! Bayangkan saja bahwa saya menemukan serpihan konsep Muhsin ini justru lewat konsep kurikulum peradaban Barat yang cenderung ateis alias tak percaya adanya Tuhan.
Ketika dunia ini makin tipis sumber daya alamnya dan ketika dunia ini makin rapuh ketika dilanda berbagai-macam bencana, maka yang diperlukan saat ini adalah pengembangan kebijakan budi alias kesalehan sosial, bukan semata kompetensi terukur yang artifisial. Atas alasan inilah saya menganggap, bahwa konsep Muhsin sangat compatible dengan konsep pengembangan kurikulum ala peradaban Barat yang menganut kebebasan tanpa batas atas bumi dan langit. Perlu diingat bahwa peradaban Barat dibangun lewat pertumpahan darah di seluruh bagian dunia, dan kurikulum pendidikan yang mereka banggakan pun tak sesempurna yang kita bayangkan selama ini. Terkesan mengada-ada? Tentu tidak. Visi Gold, Glory, Gospel sebagai ekstensi dari Perang Salib telah melenyapkan jutaan manusia tak berdosa dan semua sumber daya alam milik para korban genosida tersebut diambil alih oleh Barat yang sampai kini terus memakmurkan diri seolah dunia ini abadi. Tak pernah ada konsep kesalehan dalam pemikiran dunia Barat.
Dalam keseharian saya sebagai “penduduk” Darwin, Australia utara, saya selalu dikejutkan dengan kenyataan bahwa pemilik benua Australia ini, the aborigines, yang berkulit gelap itu seperti hidup dalam “dunia lain”. Banyak dari mereka yang berkeliaran dari mal ke mal lalu tidur di manapun mereka suka: di taman; di emper toko; di pojokan SPBU; bahkan di tengah jalan! Nampak sekali banyak dari mereka memilih untuk jadi homeless dan jobless dan mengandalkan insentif sebesar AU$700 per dua minggu dari pemerintah Australia. Setiap mereka “gajian”, mereka langsung memborong minuman keras di trolley besar lalu berpesta sepanjang malam sepanjang hari sepanjang minggu sampai mereka “gajian” kembali. Akibat adiksi alkohol berkepanjangan, banyak dari mereka mati muda dan kalaupun bertahan hidup, mereka akan seperti zombie yang bolak-balik ke rumah sakit. Kekerasan dalam rumah tangga yang akut tentu menjadi ekses dari adiksi alkohol ini. Pemerintah Australia pun bingung. Insentif yang disediakan ternyata tak membawa kehidupan yang lebih baik bagi para kaum indigenous tersebut. Proyek perskolahan ala Barat yang diharapkan dapat “memanusiakan” mereka pun telah gagal total membawa mereka ke peradaban (pos) modern. Tak ada karakter Muhsin yang saya tangkap dari kurikulum Australia (ACARA). Bahkan di kalangan kulih putih sendiri, isu-isu sosial makin menggurita: perceraian akibat perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga; fenomena single parent yang makin meningkat dan menyebabkan anak-anak makin rentan terhadap penyakit dan menurunnya IQ; makin renggangnya kekerabatan keluarga yang berakibat pada meningkatnya lansia yang hidup lalu meninggal sendirian di rumahnya; dan seterusnya. Ini adalah potret bahwa kurikulum pendidikan Barat pun tak mampu memuliakan orang-orang Barat sendiri. Tak ada karakter Muhsin pada kurikulum Barat. Kapitalisme telah kadung meruntuhkan tatanan keluarga dan tatanan sosial masyarakat Barat kalau kita mau sejujur-jujurnya.
Semakin saya banyak mengeksplorasi konsep-konsep terbaru dalam curriculum studies dengan segala derivasinya, makin yakinlah saya bahwa memang yang dibutuhkan dunia yang makin makin rapuh adalah sebuah pedagogi yang melahirkan, menguatkan, dan memelihara sifat-sifat Muhsin yang digagas oleh Prof. Maksum (alm). Seandainya visi integrasi sains & Islam ini direalisasikan dalam riset jangka pendek, menengah, dan panjang, kelak Indonesia akan menjadi sumber cahaya Islam yang muncul lagi di Timur dunia dan cahayanya akan berpendar ke semua penjuru bumi dan langit. Konsep Muhsin yang digagas oleh Prof. Maksum telah menyadarkan saya bahwa pembagian “kekuasaan”antara sains dan Islam ala Barat adalah sebuah kekeliruan terbesar sepanjang sejarah umat manusia, dan bahwa integrasi sains dan Islam adalah sesuatu yang berjalan sesuai fitrah ilahiah. Dan, kini saatnya IAIN Syekh Nurjati Cirebon membangun visi integrasi Muhsin agar fitrah keilmuan PTKIN menjadi candradimuka pengetahuan abad ke-21, ke-22, ke-23, dan seterusnya.
Epilog: Bon Voyage, Prof. Maksum!
Kini di menuju akhir tahun 2019 ini, dengan berat hati saya harus mengucapkan “Bon Voyage, Prof. Maksum!” Selamat menempuh kehidupan baru sebagai makhluk cahaya! Wejangan-wejangan penuh hikmah dari beliau telah saya himpun rapi dalam ensiklopedia palung jiwa saya. Sesering mungkin akan saya buka lagi ensiklopedia tersebut agar semangat perjuangan saya dalam menuntut ilmu tak pernah padam hingga jurusan Tadris Bahasa Inggris terutama dapat menjadi episentrum keilmuan baru di kawasan Asia Pasifik. Semoga semua kebaikan yang telah diupayakan Prof. Maksum untuk kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini menjadi tiketnya untuk menuju surga Firdaus kelak, dan semoga keluarga beliau diberkahi kebaikan penuh rahmat sepanjang masa. Satu wejangan terakhir beliau yang saya dengar di penghujung 2014: “Jadilah pahlawan yang tak pernah kesiangan karena kalau kesiangan bukan lagi pahlawan!”
Kini di puncak musim panas terpanas di kawasan utara Australia, saya masih melanjutkan perjuangan menulis Ph.D thesis saya. Kelak akan saya tulis nama Prof. Maksum Muhtar di lembar acknowledgement karena telah memberi saya waktu yang pas untuk mengembangkan diri sebaik mungkin di kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Ketika saya telah menyelesaikan studi doktoral saya, maka saya pun akan segera bersiap untuk berjuang di babak baru kehidupan sebagai dosen profesional di kampus. Saya tak berambisi menjadi seorang legenda kampus, tapi sangat tertantang untuk menjadi pejuang tangguh lalu menjadi pahlawan meskipun itu hanya satu hari saja. Bon voyage, Prof. Maksum!